Joey enggan menyentuh makanannya. Dia hanya
memainkan garpu dan pisau, memandangnya tanpa keinginan menghabiskan. Dua puluh
menit lagi bis sekolahnya akan datang, dan teman-temannya akan kembali membuat lelucon dan ejekan tentang
dirinya sementara dia
hanya menunduk pura-pura tidak mengetahui. Dia masih hapal ejekan-ejekan
kemarin dan ejekan-ejekan kemarin lusa dan ejekan-ejekan mereka minggu lalu di
sekolah, membuatnya ingin menghajar mereka satu per satu hingga mereka tidak
punya mulut untuk bicara.
“Dengar Joey,” Sarah berkata, memandang Joey
sungguh-sungguh. “Kau tidak aneh dan tidak ada yang aneh dalam keluarga kita.
Tidak juga ayahmu atau kakekmu.”
Joey tidak memerhatikannya. Tangan kirinya
menopang dagu, tangan yang lain menusuk-nusuk makanannya dengan malas. Sarah
kecewa dengan tingkah laku anak laki-lakinya itu dan dia tidak tahu apa yang
harus dilakukannya. Dia menghabiskan makanannya, kemudian berjalan untuk
mengambil kopi, dan kembali dengan membawa kotak makan siang Joey. Ketika
kembali dia melihat Joey sedang
memainkan makanannya.
“Letakkan Joey.”
“Dad datang tadi malam.”
“Mustahil Joey. Ayahmu sudah pergi ... kau
bermimpi!”
Joey bangkit, mengambil tas ranselnya dan
memandang ibunya dengan kecewa. “Ya mungkin cuma mimpi,” Joey berkata pelan,
kemudian melangkah pergi.
“Joey!” Sarah memanggil. Joey berhenti di
depan pintu. “Makan siangmu?”
Joey berusia tiga belas tahun, usia yang masih terlalu muda untuk menerima
rumor bahwa dia mewarisi keanehan dari ayahnya. Dia percaya dirinya bukan orang aneh. Dia tidak percaya
omong kosong tentang keanehan di keluarganya. Ada dua orang yang mengatakan dia
bukan orang aneh selain ayahnya. Pertama adalah Sarah, ibunya. Joey percaya
pada Sarah. Sarah sangat sayang padanya dan tidak mungkin membohongi dirinya.
Kedua adalah Dustin, satu-satunya teman yang mau bermain dengannya. Dustin
teman yang baik dan perasaannya lebih halus dari anak perempuan dan percaya
pada pribahasa ‘seratus
teman terlalu sedikit, satu musuh terlalu banyak’, tapi penulis tidak akan mengaitkan Dustin dengan
kejadian apapun dalam cerita ini.
Hari itu Joey tidak naik bis sekolah.
Sebenarnya dia tidak pernah lagi naik bis sekolah sejak seminggu terakhir. Dia
memilih naik sepeda. Tapi hari itu dia tidak naik sepeda, melainkan memilih berjalan
kaki. Jika berjalan kaki ke sekolah maka akan memakan waktu satu jam, waktu
yang cukup untuk memikirkan kejadian tadi malam. Dia berjalan tanpa semangat,
menendang-nendang kaleng Pepsi hingga jatuh ke selokan. Dia juga menendang
tumpukan daun-daun musim gugur yang dibersihkan Mr. Champman hingga
berhamburan.
“Hei, anak aneh!” teriak Mr. Champman kesal.
Yang diteriaki tidak menghiraukan. Wajahnya
menunduk seperti mencari-cari apalagi yang akan ditendang.
Joey merogoh saku jaketnya dan mengambil
sesuatu dari dalamnya, sebuah
jari manis yang masih hangat dan berdenyut dengan cincin emas melingkar. Dia
menatapnya sebentar lalu memasukannya kembali ke saku jaket. Jari itu milik
Thomas, ayahnya. Kini, Joey sedang memikirkannya.
Thomas datang tadi malam, melayang-layang di
samping jendela kamarnya. Tapi Thomas
tidak benar-benar melayang, hanya
hinggap dan bergantung di cabang
pohon. Thomas mengetuk jendela kamarnya beberapa kali, tapi tidak ada jawaban. Kasihan dia, kelelahan memegang batang pohon, menahan tubuhnya
supaya tidak jatuh. Jadi, alangkah malangnya jika Joey tidak segera mengizinkannya masuk.
“Hei Joey! ... Bukalah!” Thomas memanggil,
disusul suara patahan dahan dan ucapan ‘sialan’ karena dia hampir saja
terjatuh.
Joey membuka jendela dan melihat keluar, tapi tidak menemukan siapapun.
“Ssst ... .Joey! Di sampingmu!” bisik
Thomas, tangannya menggapai-gapai pinggiran jendela dengan susah payah.
Joey terlompat kaget, buru-buru dia
membanting jendela hingga membuat jari-jari Thomas terjepit. Tapi beruntung
Thomas tidak jatuh.
“Joey, ... bukalah! Ini Dad,” Thomas
mengetuk-ngetuk jendela. “Joey? ... kau dengar aku?”
Joey yang tadi mundur, melangkah mendekati
jendela dan memastikan seseorang yang dia kenal sedang terjepit. Dia membuka
jendela dan menemukan ayahnya sedang menggantung di bibir jendela. Thomas melompat dari pohon ke jendela
kamar Joey. Joey membantu menariknya.
“Dad, kau seharusnya ...,” Joey tidak
meneruskan kata-katanya, dia langsung memeluknya.
“Sudahlah,” kata Thomas tidak mau terlalu
sentimentil. Dia melepaskan pelukannya, kemudian berjalan ke arah meja belajar,
berhenti di depan sebuah foto berbingkai. Di dalam foto itu ada dirinya, Sarah
dan Joey kecil saat wisuda SD. Dia mengambil foto itu, memandangnya seolah-olah
ingin kembali ke masa lalu. Dia tersenyum dan mengembalikan foto itu ke tempat
semula. Pandangannya berkeliling ke arah gitar, komputer, buku-buku yang
berserakan, dan setelah itu duduk di
pinggir ranjang.
“Dengar Joey, waktu kita sedikit,” kata Thomas. “Aku cuma punya waktu hingga tengah malam.”
“Ada apa Dad?” kata Joey senang melihat
ayahnya kembali
Thomas menatap Joey, memegang kedua
pundaknya. Joey menarik kursi dan duduk di hadapan ayahnya.
“Joey, dengarlah. Aku tahu teman-temanmu
mengejekmu. Memang sungguh mengerikan. Aku dulu sama sepertimu. Aku juga pernah
mengalaminya.” Thomas terdiam sebentar, menurunkan tangannya dan menarik nafas
panjang. “Kautahu Mr. Champman?” Joey mengangguk. “Dialah penyebabnya. Dia
tidak suka dengan kakekmu, dia tidak suka keluarga kita bahagia. Dia
menyebarkan fitnah dan mengatakan kakekmu diculik makhluk luar angkasa.
Sebenarnya masalahnya lebih rumit, Joey. Tapi sudah saatnya kau mengetahui cerita
sebenarnya. Dengarlah.
“John, kakekmu, dulu seorang petani sukses. Pada
tahun 1963 John panen jagung
besar-besaran, menjualnya ke kota dan kembali dengan uang banyak. Hanya ladang
kami yang panen, orang lain tidak seberuntung kami. Ladang mereka habis oleh
tikus, termasuk ladang Mr. Champman. Tapi John bukanlah tipe pria yang
membiarkan orang lain
merugi. Kakekmu berbagi keuntungan dengan membagi-bagikan uang dan membantu
mereka memulai usahanya kembali. John memberikan usul agar ladang di desa
dibagi menjadi tiga jenis. Ladang pertama adalah ladang jagung yang akan
dimiliki keluarga John, Lady Smith, dan Pendeta Lily. Ladang kedua adalah
ladang kapas yang akan dikelola oleh keluarga Champman dan Dryden. Mereka mempunyai lahan luas untuk kapas, dan kebetulan
saat itu musim baik untuk menanam kapas karena harga kapas sedang naik. Mereka
belum punya pengalaman kecuali Terrence Dryden yang mempunyai sepupu seorang
petani kapas di Lake City. Ladang ketiga akan dibuat menjadi peternakan yang
akan dikelola oleh keluarga Summersun, Grey, Kirkland dan Williams. Berternak akan menjadi sesuatu yang baru bagi mereka. Di musim hujan, rumput akan tumbuh subur
dan cocok untuk hewan ternak. Mereka menerima usul John.
Di musim berikutnya panen jagung kurang
begitu baik, tapi John
tetap dapat untung. Beberapa
bulan kemudian harga kapas jatuh karena banjir. Champman rugi dua kali lipat.
Dia menjual tanahnya. Sedangkan Dryden, walaupun rugi, tetap mempertahankan
kebun kapasnya. Dua tahun setelah itu harga kapas melonjak dan dia menjadi
keluarga terkaya di Conewood.
Usaha peternakan tidak terlalu merugi.
Mereka terus bertahan karena harga wol tidak menentu sedangkan harga susu
cenderung naik sehingga mereka tetap untung walau sedikit.
Tahun 1965, orang-orang ramai-ramai menjual
tanah. Pabrik yang membelinya. John dan keluarga lain menyayangkan pekerja
mereka yang pindah kerja dan menjadi buruh pabrik. Tapi, di balik kepindahan itu ada Mr. Champman yang
memengaruhi orang-orang.
Pabrik membayar Mr. Champman untuk mencari tenaga-tenaga murah. Selain itu Mr.
Champman melakukannya sebagai balas dendam pada John karena sudah membuatnya rugi.
Tidak sampai disitu, Joey. Mr. Champman juga
menyewa orang untuk memfitnah John. Dia mengatakan bahwa keuntungan panen kami
berasal dari persengkongkolan John dengan makhluk luar angkasa. Makhluk luar
angkasa! Kau percaya itu Joey? Dan entah mengapa orang-orang percaya padanya.
Mereka mulai merusak ladang dan melarang kami mengelolanya.
John tetap bertahan dan terus bertahan hingga
akhir hidupnya.
Tapi gosip semakin berkembang, keluarga kami
semakin terpojok dan terasing.
Tahun 1970 banyak pabrik bangkrut,
orang-orang mulai kewalahan mencari kerja. Kami tidak terpengaruh oleh situasi
itu karena kami orang-orang yang bertahan. Namun lagi-lagi Mr. Champman
memfitnah kami dengan mengatakan penyebabnya kebangkrutan adalah aku. Untungnya
hal itu tidak berlangsung lama karena aku pergi meninggalkan desa selama
beberapa tahun dan kemudian menikahi ibumu.
Kautahu, Joey? Ibumu adalah putri Mr. Champman. Karena
itulah, setelah kelahiranmu ibumu memutuskan kembali dan menempati rumah ini.
Sekembalinya ke sini tidak ada lagi rumor
yang mengatakan aku aneh. Aku tidak tahu bagaimana penghinaan itu muncul lagi,
dan kau sendiri yang harus menanggungnya. Mungkin Mr. Champman tidak
menginginkan kau atau mungkin ada sesuatu yang lain. Kupikir setelah
kepergianku tidak ada yang menghinamu lagi.
Aku tahu kau akan marah mendengar cerita
ini. Tapi ingat Joey, kau jangan sekali-kali membenci Mr. Champman. Mungkin dia
membencimu, tapi kau tidak boleh membencinya hanya karena dia membencimu.”
Joey mengangguk paham. Dia berpikir
bagaimana menceritakan kehadiran ayahnya pada ibunya.
“Dad?” panggil Joey. “Bagaimana kau bisa
menikahi mom jika Mr. Champman membenci dad?”
Thomas tersenyum, dia tahu Joey akan
menanyakannya.
“Nak, inilah yang dinamakan keajaiban cinta. Kau pasti akan mengalaminya
nanti.”
Kalau yang ini sih Joey belum paham, tapi
dia tidak ingin menanyakannya lebih lanjut.
“Joey?” panggil Thomas. “Kautahu apa sebenarnya yang membuat
kita aneh?”
Joey menggeleng kepala.
“Kita lari dari masalah. Kakekmu membiarkan
Mr. Champman terus fitnahnya,
aku meninggalkanmu dan ibumu, dan kau ... kau menjauh dari teman-temanmu.”
Thomas meninggalkan Joey menjelang tengah
malam, saat bulan purnama bersinar bersih, saat burung hantu bernyanyi dan saat
serigala melolong. Joey berharap mereka
dapat berkumpul kembali suatu saat nanti.
Joey menutup jendela, tapi jendelanya tidak tertutup penuh karena ada sesuatu yang mengganjalnya. Dia mengangkat jendela sedikit dan
mengambil benda yang menahannya. Benda itu adalah jari manis dengan cincin emas,
masih hangat dan berdenyut. Dia menatapnya, menduga jari itu milik Thomas
karena dia mengenali cincinnya.
* *
Matahari merangkak naik. Daun-daun
berguguran ditiup angin, jatuh di jalanan yang sesekali bertebaran di udara
karena mobil yang lewat. Joey melangkah di sisi kiri jalan, dua tangannya
dimasukkan dalam saku celana. Ada keraguan apakah dia akan terus melanjutkan
perjalanan ke sekolah atau pergi ke suatu tempat di mana tak seorang pun
menganggapnya aneh. Perkataan ayahnya boleh jadi ada benarnya. Mungkin dia
memang lari dari masalah. Mungkin masalah ini dapat diselesaikan dengan bicara
terbuka pada teman-temannya dan menunjukkan bahwa dirinya memang tidak aneh.
Bisakah dirinya melakukan itu? Menantang teman-temannya menunjukkan apa yang
aneh pada dirinya. Bagaimana dengan Mr. Champman? Apa yang harus dia katakan
padanya agar dia tidak lagi membenci keluarganya? Seribu pertanyaan lain hadir
dalam pikiran Joey. Dia terlalu pusing untuk memikirkan jawabannya. Dia
berharap Thomas akan kembali datang dan bersama-sama menyelesaikan masalah ini.
Atau setidaknya dia dan ibunya pindah ke tempat lain.
Joey mendengar deru mesin dan klakson kendaraan di belakangnya. Dia kenal suara itu, dan
karena itulah dia tidak menoleh. Dia menundukkan kepala dan berpura-pura tidak
mengetahuinya. Beberapa jendela bis terbuka, kepala-kepala melongok keluar
mengolok-oloknya. “Hei, anak aneh!” teriak salah seorang anak laki-laki
disusul yang lainnya. “Halo aku alien.”
Joey geram, wajahnya memerah, urat-urat
lehernya menegang. Dia belum pernah semarah ini. Dia tahu bahwa kemarahan tidak
akan menyelesaikan masalah. Dia
mengambil batu dan melemparnya ke arah bis sambil meneriakkan kata-kata yang
tidak pantas kutulis di sini sambil berharap batu itu akan mengenai salah satu
anak yang mengejeknya. Tapi dia tidak yakin, karena bis itu sudah terlalu jauh.
Tempat itu kembali sepi tetapi tidak
setenang pikiran Joey yang masih berharap anak-anak di dalam bis mendapat
balasan yang setimpal.
Tapi kesunyian itu hanya berlangsung
sebentar. Terdengar bunyi ledakan
yang cukup keras, dan datang dari arah bis sekolahnya.
Joey berhenti sebentar
dan merasa sesuatu yang buruk menimpa teman-temannya, setelah itu dia berlari
menuju asal bunyi ledakan tadi.
Tidak ada lagi rasa amarah pada teman-teman yang
mengejeknya kecuali dia berharap semuanya akan baik-baik saja. Dia berlari
cukup cepat, lebih cepat dari anjingnya Mr. Champman. Dia bisa melihat bis sekolahnya oleng ke
kiri dan melaju dengan roda sebelah kanan yang terangkat; ada percikan api yang keluar dari bawahnya. Bis berhenti setelah terseret cukup jauh dan
jatuh terbalik. Dua rodanya berputar, asap putih keluar dari mesin dan bagian
bawah bis.
Joey merasa bersalah, mengira lemparan batu tadi penyebabnya meskipun ada
sedikit rasa senang karena itu menjadi lemparan terbaiknya. Tapi dia berharap tidak ada teman-temannya yang
terluka parah.
Dia melempar tasnya, membuka kemejanya dan
melemparnya ke rerumputan. Dia melompat ke atas bis, mendorong pintunya, dan
menendangnya hingga terdengar bunyi keras. Dia masuk ke dalam bis dan menemukan
teman-temannya terluka sambil meringis kesakitan. Dia melakukan seperti yang
biasa pahlawan lakukan: membengkokkan besi, menarik kursi, mematahkan palang,
dan memecahkan kaca jendela, lalu mengangkat dan mengeluarkan teman-temannya
satu per satu melalui jendela dan kemudian meletakkan mereka di atas
rerumputan. Pakaiannya kotor terkena darah dan debu, wajahnya hitam karena
asap. Dia senang tidak ada yang terluka parah. Dia duduk di rumput sambil
menunggu bantuan datang.
Lima
belas menit kemudian tempat itu
sudah ramai oleh polisi, paramedis dan orang-orang yang ingin melihat kejadian.
Joey-lah pahlawannya. Seorang polisi mengucapkan terima kasih padanya. Joey bisa
bernafas lega setelah mendengar seorang polisi mengatakan penyebab kecelakaan adalah ban pecah.
Paramedis mengangkat beberapa anak-anak ke
dalam ambulan. Joey mendatangi mereka dan mengatakan mereka akan baik-baik
saja. Di antara mereka ada si gendut Sammy, anak yang paling sering
mengejeknya. Sammy datang sambil memegangi kepalanya yang berdarah dengan kain
putih. Dia mengulurkan tangannya pada Joey untuk berjabat tangan dan meminta maaf.
Joey tersenyum dan berusaha melupakan ejekan-ejekan itu. Mereka pun berjabat
tangan. Joey berharap ini adalah akhir dari permusuhan mereka. Teman-teman Joey
yang lain datang untuk mengucapkan terima kasih dan meminta maaf. Bahkan Sean
berjanji akan mentraktirnya makan siang. Hmm, kalau yang ini sih Joey tidak akan
menolak.
“Ya, aku memang tidak aneh,” kata Joey.
Joey berjalan melewati garis polisi. Dia
ingin sendiri dan menikmati hari itu, menghirup udara segar sambil membayangkan
besok hari tidak akan ada lagi yang mengatakan dirinya aneh. Dia melanjutkan
perjalanannya. Mungkin tidak menuju sekolah, mungkin menyenangkan dirinya pergi
memesan piza atau donat dan secangkir kopi lalu membayangkan teman-temannya
bertepuk tangan untuknya di sekolah.
Dia mengambil jari manis Thomas dari dalam sakunya, melihatnya sebentar lalu
memasukkannya kembali. Thomas pasti akan bangga padanya.
* *
Joey semakin jauh meninggalkan mereka, dan jalanan semakin sepi. Hanya hatinya yang tidak sepi.
Beberapa saat lalu dia
merasa dunia ini terasa sempit dan menyesakkan dadanya. Sekarang, dia merasa
dunia ini terlalu luas dan terlalu indah kalau hanya untuk dilalui dengan
kemuraman. Dia seorang pahlawan dan pahlawan kita ini sedang membayangkan
kepahlawanannya.
“Namaku Joey dan aku senang membantu Anda,”
Joey tersenyum.
Tapi ini bukanlah akhir dari kisah Joey.
Kisah lainnya datang ketika Joey dikejutkan lengkingan klakson datang dari arah
tikungan di depannya: sebuah
truk oleng meluncur tepat ke
arah Joey. Dengan cepat Joey
melompat melewati pagar pembatas jalan untuk
menghindarinya. Tapi dia jatuh di dataran miring yang curam dan meluncur deras seperti kayu gelondong. Dia berputar, berputar,
berputar dan terus berputar dengan putarannya yang sangat keras menggilas batu-batu, merusak
bunga-bunga liar, menembus ilalang dan membuat takut tupai.
Joey
tidak menyadari masalah sebenarnya ketika bagian-bagian tubuhnya mulai
terlepas. Dia bahkan belum
cukup sadar untuk mengetahui dia sedang kehilangan anggota tubuhnya saat berhenti. Dia hanya tahu kepalanya sangat pusing
dan hampir muntah. Langit dan bumi berputar, dan dia memejamkan mata untuk
menenangkan diri. Tidak ada darah; sosok Joey bagaikan lego atau robot bongkar
pasang, yang setiap anggota tubuhnya memiliki cerita masing-masing.
Mari kita
lihat tangan tangan dan kaki Joey yang
mulai bergerak seolah punya nyawa sendiri. Mereka bergerak
mencari-cari bagian-bagian tubuh yang lain. Tangan Joey berjalan dengan jari-jarinya seperti seorang
tentara yang sedang merayap membawa beban berat. Tangan kiri Joey menemukan kaki kanan, tapi meninggalkannya
karena terlalu sulit membawanya, dan
lagi pula kaki dan tangan bukan pasangan yang
cocok.
Di tempat
lain, tangan kanan Joey menyeret tubuhnya dengan susah payah dan menemukan tangan
kiri di dekat batu besar. Di balik batu itu ada kalajengking yang
dengan cepat mematuk tangan
kiri Joey dan membuatnya
bengkak. Tapi tangannya tidak merasakan sakit sama sekali karena tidak tersambung dengan saraf otak, kecuali terdengar teriakan seseorang tak
jauh dari situ (kupastikan yang berteriak itu adalah kepalanya). Tangan kanan berdiri tegak terkepal lalu menghantam
kalajengking beberapa kali hingga
mati. Tangan kiri Joey,
yang bisa merasakan dekat dengan tubuhnya, mulai bergerak dan menyatu dengan tubuhnya. Kini tubuh Joey sudah punya dua tangan dan siap mencari
kaki dan kepalanya.
Tubuh Joey menemukan kedua kakinya setelah
melewati pohon-pohon berduri, semut-semut hitam dan seekor ular yang merayap di atasnya. Seekor anjing yang terlompat
kaget melihat tubuh tanpa
kepala. Tubuh Joey berjalan sempoyongan mencari-cari kepalanya; terkadang dia menabrak pohon, terkadang jatuh tersandung batu.
(Kepala) Joey sadar, di atasnya ada seekor burung kecil. Joey
mulai membuka matanya, dan mengetahui tidak memiliki tubuh lagi, dia pun berteriak histeris dan membuat si burung
kecil terbang.
Joey kini
sadar apa yang telah menimpa dirinya. Inilah dirinya yang aneh, yang mewarisi
keanehan dari ayahnya. Tapi apakah dia harus menyalahkan ayahnya? Tidak. Thomas
benar. Dia tidak perlu lagi lari dari masalah. Toh, lagi pula tidak ada satu
pun orang yang tahu dirinya seperti ini. Jadi, mengapa tidak menganggapnya sebagai
berkah?
Tiba-tiba Joey merasakan sesuatu yang membentur kepalanya dari
belakang. Dia melihat seseorang melangkahinya dan itu tidak sopan, sangat tidak
sopan.
“Hei .. kau!” teriaknya.
Orang itu berhenti dan berbalik. Joey
berusaha melihatnya dengan mendongakkan kepala, tapi dia tidak bisa
melihat jelas siapa orang itu. Dia hanya mengenali sepatu dan kaos
kakinya.
“Hei .. Kau ... Kau pasti tubuhku. Kemarilah!”
Tubuh Joey kenal suara itu. Dia
pun berbalik dan melangkah ke arah kepalanya.
“Ayo angkat aku dan pasang kembali!”
Dua tangan Joey mengangkat kepalanya sendiri, Joey merasa seolah sedang terbang.
Tapi kedua tangan Joey membuat kesalahan,
kepalanya terpasang terbalik. Kepalanya menghadap ke belakang hingga dapat
melihat bokongnya. Meski begitu,
Joey sudah bisa mengendalikan tubuhnya. Kemudian dia mengangkat kepalanya lagi dan memasangnya
ke arah yang benar. Dia menggerak-gerakkan kepalanya, lalu menoleh ke kanan dan
kiri. Dia merentangkan tangan,
meremas-remas jarinya, mengangkat
dua kakinya bergantian dan memastikan semuanya terpasang dengan benar dan tidak
mudah lepas.
Dia memegang hidung, telinga dan wajahnya.
Dia menarik telinga kanan hingga lepas, mengamati telinganya yang bolong dan
kotor, lalu meniupnya hingga tidak ada lagi debu dan tanah, dan setelah
itu memasangnya kembali. Dia
juga melepas hidungnya, memasukkan jari kelingkingnya ke dalam lubang hidung
dan menggerak-gerakannya. Dia tertawa geli.
“Aku
memang aneh.”
Ya, Joey memang aneh. Tapi ini sudah menjadi
takdirnya dan dia berjanji tidak
akan menyalahkan Thomas atau kakeknya, seperti Thomas pernah katakan bahwa
orang yang lari dari masalah adalah aneh. Joey mulai berpikir apa yang bisa dia lakukan dengan
tubuh “bongkar pasang”-nya. Mungkin dia akan menakut-nakuti anak-anak kecil
atau menjadi bintang sirkus. Dia tidak mau terlalu pusing. Jadi, dia akan mulai
dengan membuat tas koper untuk menyimpan bagian-bagian tubuhnya.
* * *
Penulis: Ali Reza
Tidak ada komentar :
Posting Komentar