“Rosie, teman kamu nunggu tuh,” Ibu memanggilku.
Jangan panggil nama itu lagi dong Bu, kataku dalam hati. Aku tidak bergegas keluar kamar menemui Adrian melainkan berjalan dengan langkah malas dan menghempaskan diri di kursi di hadapannya, tidak berkata apa-apa, tidak pula memandangnya. Tadinya kupikir karena tidak pernah lagi melihatnya selama dua minggu terakhir ini, aku tidak akan pernah bertemu lagi untuk selamanya. Namun di saat-saat tertentu rasa rindu itu muncul juga.
Adrian membawa bunga mawar dibungkus plastik untukku. Aku bisa mencium bau harumnya yang kurasa berasal dari minyak wangi milik ibunya. Aku menangkap perubahan dirinya; dia menjadi lebih kurus dengan wajah cekung dan pucat, satu-satunya yang tidak berubah adalah keceriaannya. Dia memakai sweater coklat tebal dan kemeja putih di dalamnya.
“Hai!” sapanya.
“Ha-i,” jawabku mencoba tidak terlihat malas.
“Ini untuk kakak,” dia memberikan bunga mawar itu padaku dan tersenyum.
“Iya, terima kasih,” kuletakkan bunga itu di atas meja. Adrian melihatku melakukannya.
“Nanti di taruh di vas bunga, ya?”
“He-eh.”
Ibu berjalan menuju ruang tengah, tersenyum dan juga tertawa dalam hati melihat anak gadisnya sedang merengut kedatangan seorang pecinta, bocah berumur enam tahun.
“Tujuh tahun,” Adrian berkata. “Aku akan tujuh tahun dua bulan lagi. Wah aku sudah besar sekarang.”
Dua minggu memang waktu yang lama tidak bertemu dengannya, namun bukan pula waktu yang sebentar untuk membuat badan Adrian terlihat kurus. Aku berpikir apakah aku akan membuatnya bosan lagi?
“Aku bikin puisi!” serunya. Tapi tetap saja itu tidak akan bisa merubah suasana hatiku. Aku lebih mengkhawatirkan kondisinya, dan kupikir lebih baik bicara tentang keadaannya. “Aku akan membacakannya untuk kakak,” lanjutnya.
“Mmm, mungkin lain kali aja ya,” jawabku.
Sekejap raut wajahnya berubah seperti seseorang yang akan dihukum mati. Aku menunggunya mengucapkan sesuatu. Tapi dia sama sekali tidak bersuara sehingga aku berkata,
“Ok Adrian, satu puisi aja.”
Adrian tersenyum, mengucapkan terima kasih dengan thank you, kemudian berdiri sambil memegang kertas dengan tangan kanan dan tangan kiri yang bergaya, bersiap melakukan pertunjukkan. Ibu melihatku dari balik pintu, dan bisa kupastikan dia sedang tertawa lagi dalam hatinya. Aku membalasnya dengan menunjukkan wajah merengut. Sebuah pertunjukkan kecil akan berlangsung di hadapanku, penuh semangat dan mungkin akan membosankan.
Tapi aku salah! Aku melihat cahaya kecil di mata Adrian; sebuah kesungguhan dalam melagukan puisi. Aku memerhatikan setiap hubungan kalimat, kata-kata indah dengan irama menggugah dan pada akhirnya mengambil kesimpulan bahwa ini adalah puisi bagus. Tapi apa benar Adrian yang membuatnya?
“Aku yang bikin,” Adrian berkata. “Siang-malam, di sekolah, untungnya nggak ketahuan bu guru.”
“O, ya?” aku memastikan, kali ini bukan menunjukkan kepura-puraan melainkan kekaguman.
“Guru matematika paling nggak suka kalo ada murid yang tidak memperhatikannya.”
“Boleh kupinjam?”
Dia mengangguk, memberikannya padaku dan berkata, “Simpan saja. Aku memang ingin memberikannya pada kakak.”
“Terima kasih,” jawabku, lalu membacanya dan mengulang lagi. Aku masih tidak percaya dia yang menulisnya. Aku sesekali melirik ke Adrian yang sedang melihatku dan menungguku mengucapkan sesuatu. Aku berkata: “Kamu yang membuatnya?”
Dia mengangguk.
“Kamu benar-benar membuatnya?”
Dia mengangguk lagi.
“Ok, Adrian. Aku akan kirim puisi ini ke majalah, dan mungkin ada sedikit tambahan kalau kamu nggak keberatan …”
Lagi-lagi dia mengangguk.
Tidak seperti hari-hari biasanya bersama Adrian, hari itu aku begitu menikmati obrolan kami sampai-sampai aku membayangkan dia berumur empat belas tahun. Mungkin ini karena kerinduanku atau mungkin pula karena puisinya. Aku tidak memedulikan ibuku yang sedang memerhatikan kami dari jauh atau, boleh jadi aku sedang membuatnya bosan karena tidak ada lagi yang perlu Ibu tertawakan. Adrian mengeluarkan beberapa lembar kertas dari dalam tasnya dan menyerahkan padaku sekumpulan puisi lainnya.
“Ini hasil proyekku selama dua minggu,” katanya.
* *
Saat pertama kali aku bertemua Adrian, dia berdiri di depan pintu rumah bersama ibunya dan memperkenalkan diri sebagai tetangga baru. Aku masih di sana ketika Adrian berkata, “Lihat, Ma! Tetangga kita seorang penulis!”
Seharusnya Adrian tidak akan tahu Dina yang dia maksud adalah seorang penulis cerpen di beberapa majalah remaja kalau saja ibuku tidak mengatakannya.
“Dina bayar SPP pakai uangnya sendiri, lho. Dia-kan penulis.”
Keesokan harinya Adrian mengejutkanku melalui sebuah surat berwana merah jambu.
“Penggemar baru nih,” kata Ibu, memberitahu jika Adrian akan datang malam harinya dan memintaku berlaku sebagai tuan rumah yang baik.
“Karena dia tamu istimewa, Nak,” kata ibuku.
“Tamu istimewa? Maksud Ibu?”
Tapi Ibu membiarkanku penasaran dengan kata-kata itu.
Adrian datang sendiri. Ibu menyambutnya dan ada sedikit obrolan ringan sebelum menanggilku untuk menemaninya. Dan setelah aku datang, Ibu meninggalkan kami. Adrian bertingkah seperti orang dewasa dengan caranya sendiri; duduk bersilang kaki sambil memegang gelas yang diputar-putar dan memanggilku Rosie karena wajahku mirip Kate Winslet. Aku bisa tersanjung jika seseorang yang kusuka mengatakannya padaku dengan nama itu, tapi sayangnya hanya seorang anak kecil yang memujiku. Awalnya kupikir pembicaraan kami hanya akan mengarah pada obrolan ringan anak kecil; film kartun, komik, play station, sekolah atau pelajaran. Tapi dia memasuki ruang pembicaraan yang hanya khusus untuk anak-anak remaja, menanyakan tipe laki-laki idamanku dan apakah dirinya termasuk kriteriaku. Hari berikutnya dia datang lagi, membicarakan masa depan dan impian-impiannya. Di hari lain dia meminta mengajariku menulis cerita romantis dan puisi-puisi cinta. Ibu memintaku agar jangan terlalu banyak mengeluh dan mengingatkanku bahwa dia adalah tamu istimewa.
Aku masih bertanya mengapa makhluk kecil ini disebut tamu istimewa?
Aduh, dia merepotkan, Bu. Lagipula aku kan bukan babby sitter, aku mengeluh pada Ibu. Namun Ibu selalu menjawab agar aku jangan sampai mengecewakaannya.
Pernah tamu istimewa itu menungguku di depan sekolah, berkenalan dengan teman-temanku dan menganggapku sebagai kekasihnya. Aku pun tidak menyangka gosip terbang begitu cepat ke telinga teman-teman sekolah.
“Oh Rosie-ku,” Rina meledekku.
“Aku adikmu atau aku ke-ka-sih-mu?” sambung Bella, yang sering menganggap dirinya intelek.
“Dengar ya Nona Profesor!” kataku pada Bella. “Adrian itu sepupuku dan ITB sudah mendaftarkannya sebagai calon mahasiswanya. Sedangkan kamu … kamu hanya bisa bermimpi menjadi artis!” Aku memberinya pelajaran.
Stop! Pada akhirnya aku memutuskan untuk memberitahu tentang perasaanku pada Adrian (bukan mengusirnya). Aku tidak peduli seberapa sering Ibu akan memintaku menemaninya dan aku tidak peduli jika Adrian menangis di depanku.
Namun ketika hari yang kutentukan tiba, aku malah menjadi terlalu takut untuk mengungkapkannya, lalu berpikir tentang cara yang terbaik mengatakannya tanpa mengecewakan atau menyinggung perasaannya.
“Kak Rosie!” Adrian memanggilku
Aku menoleh dengan malas tanpa menjawab
“O, my God, aku benar-benar suka Mustafa ... aku mau tau bagaimana kakak menciptakannya?” Adrian mencoba mengomentari tulisanku di majalah Smart Teen edisi lalu.
Aku malas menjawabnya. Aku hanya ingin dia berhenti bertanya dan pergi dari rumahku dan juga dari kehidupanku. Memang, mengambil risiko mengecewakan anak kecil sepertinya tidak akan termaafkan, tapi aku punya kehidupan yang harus kujalani.
“Adrian …,” kataku, menatapnya dalam-dalam mencoba memberi pemahaman lewat pandangan. “Kakak mau ngomong sesuatu sama kamu, sesuatu yang penting.” Kupikir ini saatnya mengungkapkan perasaanku meskipun aku tidak tahu bagaimana cara mengatakannya. Ya, kalau bukan sekarang mengungkapkannya, lalu kapan lagi? “Kakak … tidak ingin kamu datang lagi ke sini.” Aku mengatakannya langsung ke sasaran, tanpa pikir panjang dan membuatku menyesal kemudian.
Adrian tidak menjawab, kecuali menatapku lama sambil memperlihatkan wajah kecewa. Tiba-tiba aku merasa bersalah. Aku ingin meminta maaf padanya dan menjelaskan alasannya. Tapi, begitu aku akan mengatakan sesuatu, Adrian malah menyerbuku dengan pertanyaan-pertanyaan:
“Bagaimana dengan Laila?”, “Darimana kakak dapat ide ini?”, “Wah, ini seperti cerita seribu satu malam .. aku suka ini”, “Aku membuat kliping semua tulisan kakak”, “Aku juga suka puisi-puisi kakak. Maukan ajari aku buat puisi? Maukan? Maukan? … please?”
“Tidak Adrian ..,.,” kataku. “Aku tahu kau ingin menjadi penulis, tapi kita nggak mungkin ketemu tiap hari. Kakak perlu sendiri, kakak punya banyak kerjaan ....” Aku pun terdiam, tidak sanggup melanjutkan ucapanku, entah mengapa. Sementara itu dia memerhatikan dan menungguku berkata lagi. “Adrian …,” aku menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya. Bocah itu terus menatapku dengan wajah memelas. Oh Tuhan, aku tidak tega melihatnya seperti ini. “Mmm .. Ok .. Baiklah.” Aku menyerah sambil membayangkan penderitaanku ke depan. “Aku akan mengajarimu kalau kamu berhenti memanggilku Rosie, ok?”
Dia mengangguk.
* *
“Kak .. kakak melamun?”
Aku terhenyak, mencoba tidak larut dalam perasaan. Adrian membuatku berpikir ulang tentang arti persahabatan. Aku pernah mendengar pribahasa yang mengatakan bahwa seorang teman adalah seseorang yang mampu mengeluarkan hal yang terbaik dalam diri temannya. Dan kurasa aku sedang melakukannya. Adrian membuat puisi yang sekiranya aku pun tidak bisa membuat sebaik puisinya. Aku mengirimkan satu puisinya ke sebuah majalah lewat ‘Jalur Pribadi’ supaya mendapat jawaban lebih cepat dan memberitahu bahwa penulisnya adalah seorang anak berumur enam tahun. Aku tidak sabar menanti jawaban, membayangkan kegembiraan di wajah Adrian dan kebanggaan diriku sebagai seorang guru. Alhasil, seminggu hari kemudian redaksi menelponku dan menanyakan apakah Adrian mempunyai tulisan lain? Dia berencana membuat halaman khusus untuknya beserta profilnya. Tentu saja ada dan aku pun segera mengirimnya.
Aku berlari ke rumah Adrian untuk memberitahukan berita gembira ini sambil membayangkan wajah riang Adrian. Pintu pagar rumahnya tidak terkunci, aku melangkah masuk dan mengetuk pintu rumahnya beberapa kali. Aku akan melupakan hari-hari yang kusebut membosankan bersamanya, dan berharap hari-hari ke depan bisa lebih baik. Kuketuk lagi dan mengucap salam lebih keras. Kupasang telingaku, tapi tidak kudengar jawaban dari dalam rumah dan pintunya terkunci. Mungkin Ibu tahu kemana Adrian pergi.
Aku menemukan ibu duduk di ruang tamu sedang membaca majalah. Aku menghampirinya dan duduk di sampingnya sambil mengatur nafasku yang terengah-engah. Ibu menurunkan majalah dan melihatku. Sebenarnya ibu sedang menungguku karena ada sesuatu yang akan disampaikannya padaku.
“Dina,” ibu berkata. “Tadi malam mamanya Adrian mampir, dia bilang dia harus pergi ke Jakarta. Dia menitipkan surat untukmu. Katanya dari Adrian.”
Ibu bangkit dan berdiri, lalu mengambil surat di atas lemari hias dan memberikannya padaku. Ibu menungguku membuka surat dan kurasa ibu juga ingin membacanya. Tapi aku tidak memberikannya; aku membacanya di kamarku.
Adrian senang meniru tulisan orang lain, dan surat ini ditulis menyerupai tulisanku. Aku tersenyum karena memang benar-benar mirip.
Buat yang tercinta kak Rosie,
Adrian pastikan kakak tersenyum membaca surat ini, dan akan tetap tersenyum ketika ingat Adrian.
Ketika kakak membaca surat ini, Adrian udah nggak ada lagi di rumah. Adrian pergi ke Jakarta. Mama bilang Adrian akan dapat rumah sakit yang baik di Jakarta.Ups, tadi Adrian bilang rumah sakit? O, iya Adrian lupa bilang kalau Adrian sedang dalam perawatan. Tapi kakak nggak usah khawatir, mama bilang Adrian ditangani sama dokter profesional. Adrian bukannya nggak mau kasih tau kakak penyakitnya, tapi terlalu sulit mengeja nama penyakitnya. Katanya dari bahasa latin. Tapi-kan yang penting Adrian segera sembuh.
Ngomong-ngomong, bagaimana dengan puisi Adrian? Apa sudah diterbitkan? Kalau sudah, segera kabari ya. Mama pasti senang puisi Adrian ada di majalah.
Adrian kira, Adrian laki-laki paling bahagia di dunia. Adrian nggak perlu menunggu umur empat belas tahun untuk mendapat perhatian kakak. Tapi ada laki-laki berumur empat belas tahun yang cocok sama kriteria kakak. Namanya Kak Ali. Wah orangnya asik. Sebenarnya sih Kak Ali itu sepupu Adrian di Bandung dan rencananya dia akan pindah ke sini dan sekolah SMA di sini.
Kayaknya Adrian betah di sini soalnya susternya cantik-cantik. Tapi sayangnya nggak ada yang tahu soal puisi.
Udah dulu ya. Salam buat mamanya kak Rosie dan terima kasih untuk kue-kuenya.Do’ain Adrian ya semoga lekas sembuh dan bisa melihat kak Rosie dan kak Ali kenalan.
Salam kangen,
Adrian
Aku baru memasukkan kembali surat itu kedalam amplop ketika ibu datang dan duduk di sisi ranjang. Namun alih-alih menanyakan isi suratnya, ibu menanyakan hasil ujian dan SMA yang kuinginkan. Ibu memandangku dengan penuh kasih sayang seperti biasa. Aku menjawab aku bisa mengerjakan ujiannya dengan mudah dan kurasa aku akan lulus dengan nilai yang memuaskan. Dan untuk pilihan sekolah di SMA, aku akan memilih yang lebih dekat dengan rumah. Tapi Ibu terdiam beberapa saat. Ibu berkata bahwa dia baru saja menerima telepon dari ibunya Adrian. Kemudian Ibu memegang kedua pundakku dan menatapku dalam-dalam, dan setelah itu mengatakan bahwa tamu istimewa itu telah pergi untuk selamanya.
* * *
Penulis: Ali Reza
Tidak ada komentar :
Posting Komentar